JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai perlunya langkah konkret pemerintah dalam memperluas cakupan insentif bagi sektor padat karya.
Langkah ini dianggap penting di tengah melambatnya serapan tenaga kerja yang tidak sebanding dengan peningkatan realisasi investasi nasional. Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menjelaskan bahwa investasi beberapa tahun terakhir justru banyak mengalir ke sektor padat modal.
Dampaknya, penciptaan lapangan kerja tidak memberikan efek pengganda yang signifikan terhadap perekonomian. “Pemerintah bisa lebih mendorong dengan memberikan insentif terhadap sektor-sektor yang padat karya, termasuk manufaktur, pertanian, konstruksi, perikanan, dan jasa,” ujar Ajib.
Ia menekankan pentingnya keseimbangan agar pertumbuhan investasi juga sejalan dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja.
Dorongan Bauran Kebijakan Fiskal dan Moneter
Ajib juga menyoroti pentingnya pemerintah tidak hanya fokus pada insentif fiskal, tetapi juga memperkuat kebijakan moneter yang mendukung dunia usaha. Ia menilai bauran kebijakan tersebut dapat mempercepat pemulihan tenaga kerja.
“Bauran insentif fiskal dan moneter masih sangat dibutuhkan, misalnya pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) dan juga tarif bunga khusus yang kompetitif,” jelasnya.
Pemerintah sendiri sebelumnya telah menyiapkan sejumlah stimulus, seperti PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi 552.000 pekerja sektor pariwisata, serta program
padat karya tunai di Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR yang menyerap 609.465 tenaga kerja. Meski demikian, Apindo mendorong agar insentif diperluas mencakup lebih banyak sektor produktif dan diberikan dengan mekanisme yang tepat sasaran.
Rasio Serapan Tenaga Kerja Terus Melemah
Data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa rasio penyerapan tenaga kerja terhadap realisasi investasi justru melemah
Pada semester I/2025, realisasi investasi mencapai Rp942,9 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1.259.868 orang. Artinya, setiap satu tenaga kerja memerlukan investasi sebesar Rp748 juta.
Sebagai perbandingan, pada semester I/2024, realisasi investasi sebesar Rp829,9 triliun menyerap 1.225.042 tenaga kerja, atau sekitar Rp677 juta per pekerja. Dengan demikian, serapan tenaga kerja mengalami pelemahan, meskipun nilai investasi tumbuh positif sekitar 13,6 persen.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa peningkatan investasi belum berbanding lurus dengan pembukaan lapangan kerja baru, terutama di sektor-sektor yang memiliki potensi padat karya tinggi.
Pemerintah Evaluasi Efektivitas Investasi
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Nurul Ichwan, mengakui bahwa kecenderungan tersebut menjadi perhatian serius pemerintah. Ia menilai investasi harus dilihat dari dua sisi: nilai realisasi dan kemampuan membuka lapangan kerja.
“Fakta yang harus kita coba gali lebih lanjut adalah kenapa nilai investasinya semakin besar, tetapi jumlah tenaga kerja yang diserapnya itu lebih kecil, kalau pun tidak stagnan,” ujar Ichwan dalam Forum Investasi Nasional 2025.
Menurutnya, evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa investasi yang masuk benar-benar memberikan manfaat ekonomi yang merata. Pemerintah juga berkomitmen meninjau kembali arah kebijakan investasi agar lebih inklusif terhadap sektor padat karya dan mampu memperluas basis tenaga kerja nasional.
Kondisi serapan tenaga kerja yang lemah di tengah meningkatnya investasi menjadi sinyal penting bagi pemerintah untuk memperkuat strategi kebijakan padat karya. Apindo menilai, kombinasi insentif fiskal dan moneter akan membantu mempercepat perbaikan di sektor ketenagakerjaan.
Dengan langkah yang terarah dan perluasan dukungan terhadap sektor produktif, diharapkan investasi ke depan tidak hanya tumbuh secara nominal, tetapi juga memberikan dampak langsung terhadap penciptaan lapangan kerja baru serta kesejahteraan masyarakat.