JAKARTA - Potensi panas bumi Indonesia kembali menjadi sorotan dalam peta transisi energi Asia.
Sumber energi ini dianggap bukan sekadar alternatif, melainkan fondasi utama dalam mencapai ketahanan energi dan target iklim kawasan. Selain menyediakan listrik bersih, panas bumi juga dinilai mampu menjawab tiga tantangan utama sektor energi, yakni keberlanjutan, keandalan, dan keterjangkauan.
Panas Bumi dan Tantangan Energi Asia
Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE), Yurizki Rio, menegaskan bahwa Asia masih membutuhkan keseimbangan dalam bauran energi karena sebagian besar pasokan listrik di kawasan ini masih bergantung pada bahan bakar fosil.
Sekitar 80 persen kebutuhan energi Asia masih disokong dari sumber konvensional demi menjaga ketahanan sistem ketenagalistrikan. Namun, di sisi lain, permintaan listrik terus meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi di berbagai negara.
Untuk memenuhi target iklim, Asia Tenggara harus melipatgandakan investasi energi bersih hingga lima kali lipat, menjadi sekitar 190 miliar dolar AS per tahun pada 2035. “Ini adalah lompatan besar yang menunjukkan betapa mendesaknya akses terhadap modal baru,” ujar Yurizki.
Yurizki menambahkan bahwa transisi energi di Asia bukan hanya soal menambah kapasitas energi terbarukan dalam bentuk gigawatt, tetapi juga memastikan pasokan listrik tetap stabil dan industri tetap kompetitif di tengah perubahan sistem energi.
Keunggulan Panas Bumi dalam Transisi Energi
Dalam konteks ini, panas bumi dinilai sebagai solusi paling realistis bagi ketahanan energi jangka panjang. Sebagai sumber daya lokal yang berkelanjutan, panas bumi memiliki karakter unik: mampu beroperasi sepanjang waktu tanpa bergantung pada cuaca seperti energi surya atau angin.
Keunggulan inilah yang menjadikan panas bumi sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara secara bertahap tanpa mengorbankan stabilitas pasokan listrik nasional.
“Panas bumi secara alami menjawab ketiga aspek utama energi, yaitu bersih dan berkelanjutan, andal sebagai baseload, serta dengan struktur pembiayaan yang tepat, tetap terjangkau dalam jangka panjang,” jelas Yurizki.
Indonesia memiliki cadangan panas bumi sekitar 24 gigawatt (GW), atau setara dengan 40 persen dari total potensi panas bumi dunia. Namun, dari jumlah tersebut, baru sekitar 2,6 GW yang telah dimanfaatkan. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia kerap dijuluki “Saudi Arabia of Geothermal”.
Kebutuhan Investasi dan Tantangan Pendanaan
Transisi energi berbasis panas bumi tidak dapat berjalan tanpa dukungan pendanaan yang kuat dan proyek berskala besar yang dapat dijalankan secara bankable. Yurizki menegaskan bahwa tantangan terbesar dalam pengembangan panas bumi bukan terletak pada ambisi proyek, tetapi pada pembiayaan.
Menurut International Energy Agency (IEA), kawasan Asia-Pasifik perlu meningkatkan investasi energi bersih dari 770 miliar dolar AS per tahun menjadi lebih dari 2,3 triliun dolar AS pada 2030.
Sementara itu, Indonesia memerlukan investasi sekitar 20–25 miliar dolar AS setiap tahun di sektor energi, khususnya untuk panas bumi, surya, dan hidro. Panas bumi memang dikenal sebagai sumber energi yang stabil, namun biayanya cukup tinggi.
Satu sumur produksi panas bumi dapat menelan dana hingga 5–6 juta dolar AS, dan tingginya risiko eksplorasi membuat banyak investor berhati-hati untuk terlibat.
Kendati demikian, investasi pada sektor ini membawa dampak ekonomi yang signifikan. Setiap 1 miliar dolar AS investasi panas bumi mampu menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan sektor industri pengeboran, rekayasa, serta ekonomi lokal, dengan efek berganda mencapai 1,25 kali.
Peluang Ekonomi dan Hilirisasi Panas Bumi
Lebih jauh, pengembangan panas bumi tidak hanya berfungsi sebagai penyedia energi bersih, tetapi juga membuka peluang besar untuk hilirisasi produk turunan.
Yurizki mencontohkan, sumber daya ini bisa menjadi dasar pengembangan produk energi hijau seperti green hydrogen dan green ammonia, yang berpotensi memperkuat daya saing industri energi Indonesia di pasar global.
“Energi terbarukan bukan hanya solusi iklim, tetapi juga motor pertumbuhan ekonomi,” ujarnya. Yurizki menambahkan bahwa di banyak negara Asia, investasi hijau telah menciptakan jutaan lapangan kerja, menarik modal internasional, dan memperkuat industri dalam negeri.
Bagi Indonesia, pengembangan panas bumi menjadi langkah strategis untuk membersihkan jaringan listrik sekaligus memperkuat rantai pasok energi nasional dan kapasitas teknologi lokal.
Dengan potensi cadangan panas bumi yang besar, stabilitas sistem energi yang tinggi, serta dukungan investasi dan kebijakan yang tepat, Indonesia berpeluang menjadi salah satu pemimpin transisi energi bersih di kawasan Asia.
Ke depan, peran panas bumi tidak hanya menopang kebutuhan listrik nasional, tetapi juga menjadi tulang punggung energi berkelanjutan yang menjaga keseimbangan antara ekonomi, lingkungan, dan ketahanan energi.